Fitrah Ubudiyah
Allah tidak menciptakan manusia begitu saja tanpa tujuan sebagaimana yang dianggap sebagian orang. Akan tetapi, seorang yang beriman mengetahui bahwa mereka diciptakan dengan tujuan yang mulia, yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hal ini sebagaimana yang ditegaskan di dalam Al-Qur’an Al-Karim
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)
‘Ubudiyah atau beribadah kepada Allah merupakan tujuan yang paling utama bagi seorang hamba kepada-Nya dengan terus merendahkan dan menyandarkan diri di hadapan Sang Rabb. Bahkan, penghambaan ini sudah Allah jadikan sebagai fitrah yang melekat di jiwa setiap insan. Kebutuhan ia kepada Sang Penciptanya tidak bisa dipisahkan dari sang hamba. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
ۚفِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“(Sesuai) fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.” (QS Ar- Rum: 30)
Di dalam Tafsir Ath-Thabari, seorang ulama bernama Ibnu Zaid menafsirkan maksud dari fitrah dalam ayat tersebut adalah Al-Islam. Maksudnya adalah sifat dasar manusia ia senang, selalu merendah, dan berserah diri di hadapan Allah.
Sebagaimana juga yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya yang dibawakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Baca juga: Korelasi Rukun Ibadah
Para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan “dilahirkan dalam fitrah” adalah keadaan asal saat manusia diciptakan. Yaitu, kebutuhan seorang hamba dalam ber-‘ubudiah kepada Allah, sekalipun hamba tersebut mudah berpaling, angkuh, dan menjauh dari Allah dengan ujian yang Ia berikan kepada hamba tersebut, seperti memiliki jabatan, kekuatan, keahlian, harta melimpah, kesehatan yang sempurna, dan yang lainnya. Pasti di suatu titik ketika ia menghadapi suatu masalah kesulitan dan kesempitan, ia akan kembali kepada Allah dengan ber-taqarrub, merendah di hadapan Sang Khaliq, bermunajat memohon keselamatan, dan penjagaan dari-Nya. Karena itulah fitrah yang telah Allah tanamkan pada hati setiap manusia. Sedangkan apa yang ia miliki tidak lagi ada manfaatnya dan ia pun akan merasa menjadi seorang hamba yang lemah.
Mari kita perhatikan firman Allah Ta’ala yang menjelaskan tentang keadaan manusia ketika mereka mendapatkan kesenangan dan ketika mendapatkan musibah. Firman Allah tersebut berbunyi,
هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا كُنتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِم بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ ۙ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنجَيْتَنَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik. Dan mereka bergembira karenanya. Datanglah angin badai. Dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.’” (QS. Yunus: 22)
Maka, tak heran para ulama mengatakan bahwa berbagai macam ujian dan permasalahan yang Allah berikan kepada seorang hamba, tidak lain dan tidak bukan melainkan merupakan bentuk kasih sayang Allah untuk hamba-Nya. Karena dengan itulah, hamba tersebut akan kembali dan menghambakan diri kepada-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَأَخَذْنَاهُم بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ
“Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (QS. Anam: 42)
Ujian adalah cara Allah untuk mengembalikan seorang hamba kepada fitrah yang telah Allah tanamkan dan mengembalikan terhadap hakikat diri mereka yang lemah, tidak memiliki daya maupun upaya tanpa pertolongan Allah. Dengan itu, ia akan kembali kepada kefitrahannya dengan selalu merasa butuh, bersandar kepada Rabb yang Mahakuasa atas segala sesuatu, Rabb yang Mahaagung, Rabb yang mampu menjauhkan dari berbagai macam mara bahaya. Dan menjadikan ia lebih yakin dengan firman Allah,
ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ
“Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya.” (QS. Al-Ikhlas:v2)
Dan juga firman Allah,
لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid: 2)
Ketika keimanan menancap di dalam sanubari seorang muslim, maka ia akan selalu menyandarkan dirinya kepada Allah. Mari kita lihat bagaimana keimanan dan bersandarnya para hamba Allah kepada Rabb mereka.
وَاُفَوِّضُ اَمْرِيْٓ اِلَى اللّٰهِ
“Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah.” (QS. Gafir: 44)
Dan tidak ada jalan untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan seorang hamba, kecuali ketika hamba tersebut memahami atas hakikat dirinya dan keagungan Allah. Sehingga tidak ada rasa khawatir dan tidak ada rasa sedih di dalam menjalani kehidupan dunia.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)
Sebaliknya ketika hamba diuji oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan kemewahan, kemudahan, kelapangan harta, jabatan, dan dunia, ternyata banyak di antara mereka yang menjadi hamba Allah yang sombong, angkuh jumawa, tidak mengetahui hakikat dirinya dan hakikat ‘ubudiyah kepada Allah, sehingga mereka semakin jauh dari Allah.
Bahkan, tidak sedikit dari mereka akan senantiasa dihantui dengan rasa khawatir dengan masa depan. Hati mereka sering merasa sempit dan sulit untuk menerima kebaikan, walaupun harta mereka melimpah ruah sebanyak harta Karun. Karena sesungguhnya harta tidak akan membawakan dia kepada sebuah kebahagiaan yang hakiki.
Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah?
Wallahu ‘alam bish-shawab
Dirangkum dan disusun di Pesantren Gratis Klaten, 28 September 2023.
***
Penulis: Agung Argiyansyah
Artikel asli: https://muslim.or.id/88587-fitrah-ubudiyah.html